Kenaikan inflasi dan biaya produksi menjadi alasan produsen obat untuk menaikkan harga obat yang sebagian besar masih ditanggung secara pribadi oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya, mahalnya harga obat yang harus ditebus pasien semakin menambah beban hidup.
Di Indonesia, komponen biaya obat bisa mencapai 45 persen dari total biaya kesehatan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh WHO terhadap beberapa penduduk negara berkembang, termasuk Indonesia, terungkap adanya efek memiskinkan dari membeli obat.
Sebagai ilustrasi adalah obat diabetes glibenclamide. Sekitar 36 persen masyarakat yang penghasilannya kurang dari 2 dollar AS (Rp 18.000) menjadi bertambah miskin setelah membeli obat originator (off paten). Sementara itu, jika membeli obat generik glibenclamide, hanya 6 persen yang bertambah miskin.
Adapun menurut survei Health Action International terhadap harga beberapa jenis obat di dunia, terungkap bahwa untuk membeli obat jenis Ciprofloxacin orginitator (paten), masyarakat harus mengeluarkan uang setara dengan upah mereka bekerja selama 10 hari. Untuk obat generiknya, biaya yang dibayarkan setara dengan satu hari kerja.
"Di beberapa negara seperti Armenia dan Kenya, harga obat ini malah setara dengan satu bulan gaji. Padahal, obat Ciprofloxacin ini adalah obat infeksi yang harus terus dikonsumsi selama 7 hari," kata Nani Sukasediati dari WHO Indonesia dalam acara forum diskusi bertajuk "Akses Terhadap Obat di Indonesia" yang diadakan oleh GlaxoSmithKline (GSK) di Jakarta, Kamis (27/10/2011).
Yang memprihatinkan, harga beberapa obat generik bermerek di Indonesia jauh lebih mahal dibanding obat paten. Padahal, menurut Kent K Sarosa, Business Unit Director GSK, obat generik bermerek itu hanya meniru formula obat dari obat paten yang sudah habis masa patennya. Selain itu, harga obat generik bermerek jauh di atas harga obat generik meski isinya sama.
"Penetapan harga obat generik bermerek melihat harga obat paten baru diturunkan 30-80 persen. Namun, obat meniru yang beredar di sini bisa lebih mahal dari obat paten," katanya dalam acara yang sama.
Ia memberi contoh harga amoxil originator hanya dibanderol Rp 1.682. Namun, untuk obat generik bermereknya bisa melebihi Rp 2.000 per tablet.
Menurut Nani, dalam resolusi World Health Assembly (dewan tertinggi WHO), sudah dibuat rekomendasi bagi perusahaan farmasi dan industri terkait untuk menerapkan kebijakan penerapan harga berjenjang di negara-negara berkembang.
Menurut Ken, GSK menerapkan resolusi tersebut dengan mengurangi harga obat patennya di Indonesia 30-80 persen. "Obat-obatan yang prevalensi penyakitnya tinggi, seperti asma dan antibiotik, termasuk obat yang penurunan harganya banyak," paparnya.
Kebijakan penurunan harga obat tersebut, menurut dia, merupakan kebijakan GSK global. "Penentuan harga obat disesuaikan dengan pendapatan penduduk di suatu negara. Untuk obat yang sama, harga obat di Indonesia jauh lebih murah daripada harga di Singapura atau negara maju lainnya," katanya.
Dengan penurunan harga, permintaan dan daya beli masyarakat diharapkan meningkat. "Dengan begitu, harga produksi bisa diturunkan. Hal ini tidak mengurangi profit kami," ungkapsnya.
Nani menambahkan, selain harga yang terjangkau, ada tiga pilar penting dalam membangun akses terhadap obat, yakni pemilihan jenis obat yang rasional, pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan, dan sistem kesehatan yang menunjang.
Sumber: http://health.kompas.com/read/2011/10/28/13174413/Obat.Mahal.Punya.Efek.Memiskinkan
Baca Selengkapnya Di Sini....